Senin, 23 November 2009

ISU KONTEMPORER DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

1. Persfektif Desentralisasi Pendidikan / Otonomi Daerah dalam Bidang Pendidikan
 
A.     Pengertian Otonomi Pendidikan
Kebijakan desentralisasi merupakan pelaksanaan dari lahirnya UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 ( Bab I Pasal 1 e dan h, UU No. 20, 1999 ). Isinya: “ Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan ( UU Otonomi Daerah No. 22, Tahun 1999: 6 ). Menurut Ryaas Rasyid, kebijakan desentralisasi adalah untuk mewujudkan otonomi daerah ( Darma Setyawam 2004: XII ).
Urusan pendidikan daerah kini menjadi tanggung jawab daerah yang direfleksikan dalam bentuk otonomi pendidikan. Otonominya sudah sampai pada tingkat yang paling bawah, yaitu sekolah sebagai institusi yang langsung memberi layanan pada masyarakat, otonomi sekolah dalam perwujudannya disebut manajemen berbasis sekolah atau MBS.
Dalam hubungannya denga era otonomi daerah yang telah berjalan sejak awal tahun 2001 ini, Pemerintah telah menyerahkan hak dan kewenangan melaksanakan pendidikan, bukan hanya ditingkat provinsi, melainkan sampai ditingkat kabupaten/ kota. Dalam pendidikan dasar dan menengah, hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pendidikan bahkan telah diserahkan pada tingkat sekolah melalui penerapan konsep manajemen berbasis sekolah ( School Based Management ). ( Mendiknas Yahya Muhaemin 2001 dalam Pedoman SBM 2001: iii ).
Otonomi pendidikan merupakan salah satu bentuk pengelolaan kemandirian sekolah dalam mengatur rumah tangganya sendiri, ( MPMBS, 2001:9 ). Desentralisasi melahirkan penyerahan kewenangan kepada level yang lebih rendah dari tingkat organisasi yang lebih tinggi yang bertujuan meningkatkan pelayanan publik. Tujuannya sama dengan UU Sisdiknas No. 20, Pasal 11 ayat 1 yang berbunyi “ Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.” ( 2003: 8 )
B.     Pengertian Desentralisasi
Secara etimologi, kata desentralisasi berasal dari bahasa Latin, de dan centrum. De berarti lepas dan centrum berarti pusat. Jadi desentralisasi berarti melepaskan diri dari pusat. ( 2004: 80 ). Dalam hubungannya dengan otonomi, maka konsep otonomi merupakan tindakan desentralisasi yang dilakukan oleh lembaga yang lebih tinggi ke tingkat bawah. Desentralisasi merupakan proses pendelegasian kekuasaan mulai dari tingkat nasional ( pusat ) sampai dengan tingkat sekolah, bahkan sampai di tingkat kelas ( oleh guru ). ( Nanang Fattah, 2000: 13 ).
 
C.     Fungsi dan Manfaat Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi mengacu pada sejauh mana perintah yang telah dilimpahkan dari tingkatan manajemen yang atas kepada tingkatan manajemen yang berada di bawahnya. Manfaat desentralisasi adalah penyempurnaan pengambilan keputusan, semangat kerja, latihan, dan inisiatif yang lebih baik pada tingkatan yang lebih rendah. Manfaat tersebut bersifat menyeluruh, tetapi juga ada pengendalian yang tetap untuk mengatasi semua persoalan yang ada.
Suatu sistem harus efektif, secara teknis harus tetap efisien agar lulusan bermutu tinggi. Tetapi pada pihak lain, pembangunan nasional harus dikembangkan berdasarkan asas otonomi daerah dan mendorong kreativitas yang tumbuh dari bawah juga sarana untuk mencapainya adalah melalui pendekatan desentralisasi.
Otonomi daerah dalam bidang pendidikan sangat erat kaitannya. Karena dua hal tersebut hubungannya nyata dan terlihat secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Jika disuatu daerah akan meningkatkan mutu pendidikan agar lebih baik, maka dapat dicapai dan dilakukan dengan cara pembiayaan melalui dana dari otonomi daerah. Mungkin dengan otonomi daerah masing- masing, suatu daerah dapat lebih memfokuskan dan memperhatikan kemajuan pendidikannya.
Penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan dasar merupakan legitimasi pemerintah. Desentralisasi manajemen pendidikan dasar dapat diartikan pengurangan legitimasi pemerintah pusat meskipun tidak seharusnya seperti itu.
Konsekuensi dari penyerahan kewenangan dari tingkat yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah, manajemen pendidikannya perlu disesuaikan dengan nuansa yang sesuai dengan otonomi, yaitu terjadinya perubahan dari pola lama ke pola baru.
Dimensi perubahannya tampak sebagai berikut:
Tabel
Dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan
Pola Lama
Menuju
Pola Baru
Subordinasi
Ke
Otonomi
Pengambilan keputusan terpusat
Ke
Pengambilan keputusan partisipatif
Ruang gerak kaku
Ke
Ruang gerak luwes
Pendekatan Birokratik
Ke
Pendekatan Profesional
Sentralistik
Ke
Desentralisi
Mengontrol
Ke
Mempengaruhi
Diatur
Ke
Prakarsa sendiri
Mengarahkan
Ke
Mempasilitasi
Menghabiskan dana
Ke
Efisiensi dana
Individual
Ke
Tim kerjasama
Gambaran tentang otonomi daerah dalam bidang pendidikan dapat dilihat dari berbagai sumber dana untuk pembiayaan pendidikan. Pembiayaan pendidikan melalui otonomi daerah mengacu pada pengadaan, pendayagunaan, pengembangan tenaga pendidik, kurikulum, buku pelajaran, dan peralatan pendidikan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam pencapaian tujuan pendidikan yang semakin efektif, efisien, dan bermutu, diperlukan pendekatan desentralisasi dan otonomi daerah. Karena lebih mendekatkan pembangunan langsung kepada rakyat. Otonomi daerah diutamakan langsung kepada daerah- daerah. Tetapi perlu dipertimbangkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Untuk pencapaian tujuan diperlukan program yang baik, sehingga tercipta perkembangan pendidikan kea rah yang semakin pesat. Sesuai dengan hakikat pendidikan, di dalamnya terdapat semua bagian dan proses yang dapat berubah- ubah. Hal ini, menunjukkan bahwa pembiayaan otonomi daerah harus lebih ditingkatkan dan perlu upaya dari pimpinan yang mengelola kebutuhan otonomi daerah.
Diharapkan dengan adanya desentralisasi pendidikan, dapat mendorong pelayanan jasa pendidikan yang dapat meningkatkan mutu pendidikan sebagai muara dari semua kegiatan sekolah, karena kegiatan sekolah dikelola utuh dalam satu tangan pengelolaan dengan menerapkan manajemen yang bertumpu pada kekuatan sekolah sendiri yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah. Desentralisasi pendidikan juga diharapkan akan mendorong terciptanya peningkatan pelayanan pendidikan kepada masyarakat, dengan muaranya pada upaya peningkatan kualitas pengelolaan pendidikan pada tataran yang paling bawah yakni sekolah. Oleh sebab itu penerapan Manajemen Berbasis Sekolah diyakini sebagai suatu model implementasi kebijakan desentralisasi. ( 2001: v ).
 
2.      Manajemen Berbasis Sekolah
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang sedang digulirkan saat ini adalah manajemen negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah" yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Konsekwensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan perlu diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah. 
Selain alasan normatif, secara empirik manajemen berbasis sekolah memang perlu diterapkan karena di lapangan menunjukkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut. 
1.  Manajemen berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, antara lain: keputusan pusat sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah; administrasi berlebihan yang dikarenakan lapis-lapis birokrasi yang terlalu banyak telah menyebabkan kelambanan dalam menangani setiap permasalahan, sehingga menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah; dalam kenyataan, administrasi telah mengendalikan kreasi; proses pendidikan dijalankan dengan undermanaged sehingga menghasilkan tingkat efektivitas dan efisiensi yang rendah; pendekatan sarwa-negara (state-driven) telah menempatkan sekolah pada posisi yang marginal, sehingga sekolah tidak berdaya, tidak memiliki keberanian moral (prakarsa) untuk berinisiatif; sekolah tidak mandiri; terjadi penyumbatan dan bahkan pemasungan demokrasi; sekolah tidak peka dan jeli dalam menangkap dan mengungkap permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi pendidikan dari masyarakat; dan manajemen berbasis pusat tidak saja menumpulkan daya kreativitas sekolah, tetapi juga mengikis habis rasa kepemilikan warga sekolah terhadap sekolahnya.
2.  Sekolah paling memahami permasalahan disekolahnya. Karena itu, sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan permasalahannya melalui sejumlah keputusan yang dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki kewenangan (otonomi), tidak saja dalam pengambilan keputusan, akan tetapi justru dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan payung kebijakan makro pendidikan nasional.
3.  Perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada "rasa memiliki" dan "rasa memiliki" berasal dari kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan untuk mengadaptasikannya terhadap kebutuhan individu sekolah. Rasa memiliki ini pada gilirannya akan meningkatkan pula rasa tanggungjawab. Jadi, makin besar tingkat partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan, makin besar rasa memiliki terhadap sekolah, dan makin besar pula rasa tanggungjawabnya. Yang demikian ini berarti bahwa "perubahan" lebih disebabkan oleh dorongan internal sekolah dari pada tekanan dari luar sekolah. 
4.  Telah lama pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan dari pada tanggungjawab profesional, sehingga kreativitas sekolah pada umumnya dan guru pada khususnya terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak jarang pula dijumpai bahwa formalitas sering jauh melampaui hakiki. Yang lebih parah lagi guru-guru kehilangan "jiwa kependidikannya". Mendidik tidak lebih dari sekadar pengenalan nilai-nilai, yang hasilnya hanya berupa pengetahuan nilai (logos) dan belum sampai pada penghayatan nilai (etos), apalagi sampai pengamalannya. Akibatnya, menurut Aburizal Bakrie (1999), proses belajar mengajar di sekolah lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh guru, dibanding daya kreasi, nalar, dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi. Tidak ada toleransi pada kekeliruan akibat kreativitas berpikir, karena yang benar adalah apa yang dipersepsikan benar oleh guru, sehingga yang terjadi hanyalah memorisasi dan "recall" dan tidak dihargainya kreativitas dan kemampuan peserta didik. Padahal, pembelajaran yang sebenarnya semestinya lebih mementingkan pada proses "pencarian jawaban" dibanding "memiliki jawaban". 
           Istilah manajemen berbasis sekolah berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan, pengendalian (tindakan turun tangan), dan kesan dari anak buah ke bapak/ibu buah). Pengertian manajemen tersebut, menurut Poernomosidi Hadjisarosa, 1997) dapat dilukiskan seperti pada Gambar 1 berikut, dengan keterangan: SDM-M (sumberdaya manusia manajer) mengatur sumber daya manusia pelaksana (SDM-P) melalui input manajemen yang terdiri dari (T = Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 = Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) agar SDM-P menggunakan jasa manusianya (Jm) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output.
 
 
 

Gambar 1: Manajemen

wpe1.jpg (8939 bytes)

Sumber: Poernomosidi Hadjisarosa, 1997

Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).

Dari uraian tersebut dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Catatan: kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David, 1989): manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan partisipatif.

Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung (Undang-Undang No.22 Th.1999 tentang Pemerintahan Daerah). Istilah otonomi juga sama dengan istilah "swa", misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, swalayan, dan swa-swa lainnya. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.

Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut "desentralisasi". Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari Dati II ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diatur secara "sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena seperti berikut: lamban berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya karena terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah, adalah merupakan esensi desentralisasi. Menurut Bailey (1991), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen, dan ukurannya kecil, mudah beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan desentralisasi, maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang dengan subur, sehingga keputusan dapat dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggunggugatan terhadap masyarakat (majelis sekolah, orangtua peserta didik, publik) dan pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya, produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moralnya).

Dengan pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi manajemen sekolah.Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.Ciri-ciri sekolah yang "berdaya" pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.); bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen (T,R,P,L,T3,K) dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia memiliki suara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empirik tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyesuaian-penyesuaian, salah satunya adalah melakukan pergeseran pendekatan manajemen, yaitu dari pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah, seperti dilukiskan pada Gambar 2 (Slamet PH, 2000).

Gambar 2
Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan: Dari Berbasis Pusat
Menuju Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Pusat

Menuju

Manajemen Berbasis Sekolah

Sub-ordinasi



Otonomi

Pengambilan keputusan



Pengambilan keputusan

Terpusat



Partisipatif

Ruang gerak kaku



Ruang Gerak Luwes

Pendekatan birokratik



Pendekatan Profesionalisme

Sentralistik



Desentralistik

Diatur



Motivasi diri

Overregulasi



Deregulasi

Mengontrol



Mempengaruhi

Mengarahkan



Memfasilitasi

Menghindari resiko



Mengolah resiko

Gunakan uang semuanya



Gunakan seefisien mungkin

Individual cerdas



Teamwork kompak & cerdas

Informasi terpribadi



Informasi terbagi

Pendelegasian



Pemberdayaan

Organisasi herarkis



Organisasi datar

Sumber: Slamet PH, 2000

Dalam artian yang sesungguhnya, sebenarnya sulit memberikan contoh manajemen berbasis yang "uniformitas" dan "konformitas" sekaligus, karena dalam kenyataan juga tidak mudah menemukan sekolah yang karakteristik "kancah"nya atau "pacakan"nya sama. Model manajemen berbasis sekolah berikut merupakan model yang pada umumnya memiliki ciri-ciri universal, sehingga setiap sekolah yang akan mengadopsi model ini perlu mengadaptasikannya/menyesuaikannya dengan karakteristik kancah di sekolah masing-masing. Model manajemen berbasis sekolah berikut pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan sistem (berfikir sistem), yaitu output-proses-input. Urutan ini dipilih dengan alasan bahwa setiap kegiatan sekolah akan dilakukan, termasuk kegiatan melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), semestinya dimulai dari "output" yang akan dicapai, kemudian ke "proses", dan baru ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Namun, langkah-langkah pemecahan persoalannya ditempuh dengan mengikuti urutan yang berlawanan dengan arah analisis SWOT. Karena manajemen berbasis sekolah telah merupakan jiwa dan semangat sekolah, maka setiap penjelasan berikut telah menginklusifkan otonomi dan partisipasi ke dalamnya, meskipun tanpa menyebut istilah otonomi dan partisipasi. Artinya, setiap pembahasan butir-butir berikut selalu dijiwai oleh otonomi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah. Secara ringkas, manajemen berbasis sekolah dapat diuraikan seperti berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).Mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah (transisi) merupakan proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Transisi ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya, dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen berbasis sekolah. Oleh karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah perlu didorong.

3. Manajemen Berbasis Masyarakat dan Implementasinya terhadap Manajemen Sumber Daya

UAN, Standar Mutu Pendidikan Kita?

HARI - hari terakhir menjelang pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) diwarnai kecemasan praktisi, pengamat pendidikan dan orangtua mengenai nilai minimal syarat kelulusan siswa. Sebagaimana ramai diberitakan, guna mengangkat mutu pendidikan Indonesia pada tataran persaingan global, kenaikan standar kelulusan ujian akhir nasional (UAN) pada jenjang SLTP dan SLTA dari nilai kelulusan dari minimal 3,01 pada tahun lalu menjadi 4,01 pada UAN tahun 2004, agar siswa dan guru segera terpacu untuk belajar dan bekerja keras.

Pemerintah beralasan, peningkatan standar minimal untuk syarat kelulusan menjadi salah satu upaya mendongkrak mutu pendidikan yang kini terpuruk sehingga dapat disejajarkan dengan kualitas di negara-negara lain. UAN yang diberlakukan secara nasional menjadi standar mutu secara nasional pula.

Kalangan praktisi dan pengamat pendidikan berpendapat, penyeragaman mutu justru tidak membawa perbaikan pada mutu pendidikan nasional.

Pertama, berkaitan dengan pembakuan kondisi pembelajaran. Apabila tes diberlakukan secara nasional, perlu dibakukan dulu kondisi pembelajaran peserta didik. Dengan pembakuan kondisi pembelajaran, layak membuat penilaian kepada semua siswa secara nasional. Bila tidak, kita tidak bisa membandingkan kemampuan siswa di Jakarta yang memiliki berbagai kemudahan fasilitas belajar, tenaga guru, perpustakaan dan laboratorium, bahkan lembaga-lembaga bimbingan tes, dengan siswa di pelosok yang mengikuti pelajaran di bawah pohon atau kolong-kolong langit akibat keterbatasan sarana dan prasarana. Atau kita tidak bisa membandingkan kemampuan siswa di Jakarta dengan kemampuan siswa di sebuah kampung udik di Provinsi Papua yang diajar seorang guru untuk semua mata pelajaran. Kondisi pembelajaran mereka berbeda sehingga tidak layak diperbandingkan. Karena itu, apabila pemerintah tetap memberlakukan UAN bagi semua siswa di Indonesia dengan menggunakan alat ukur tes dan standar minimal kelulusan yang sama, maka pemerintah telah berlaku curang alias tidak adil.

Kedua, kondisi dan latar belakang siswa. Apakah siswa yang mengikuti ujian nasional memiliki kondisi yang sama? Bagaimana kondisi kesehatan mereka, gizi, kesiapan psikologis dan dukungan orangtua? Apakah semua siswa benar-benar siap mengikuti UAN? Di Jakarta atau beberapa kota besar lain, menjelang ujian akhir, siswa sudah membanjiri lembaga-lembaga bimbingan tes untuk dilatih mengerjakan tes atau diwajibkan mengikkuti bimbingan tes di sekolahnya. Tentu saja ini hanya bisa dijangkau oleh siswa yang memiliki orangtua berduit. Bagaimana dengan siswa kebanyakan yang hidup keluarganya pas-pasan atau kurang mampu?

Ketiga, berkaitan dengan alat ukur tes sendiri. Sampai saat ini tidak ada keterbukaan dari Depdiknas tentang pembakuan tes yang akan diujikan secara nasional. Sesuai dengan prosedur, tes untuk ujian semacam itu harus diujicoba kepada sampel tertentu sebelum digunakan secara nasional. Dari manakah sampel yang digunakan? Apakah merata, setidaknya mewakili berbagai kawasan di Indonesia? Dari pengalaman selama ini, tes-tes untuk ujian Ebtanas kebanyakan hanya diujicobakan pada sampel yang tidak representatif. Kebanyakan tes hanya diujicobakan pada sekolah-sekolah di perkotaan. Padahal, hasil uji coba akan digunakan untuk sejolah-sekolah di pedesaan.Maka, bisa terjadi soal yang mudah bagi siswa di perkotaan menjadi soal yang sulit untuk siswa di pedesaan.

Keempat, berkaitan dengan keamanan tes. Apakah pemerintah bisa menjamin tes yang akan digunakan secara nasional itu aman dan bebas dari kebocoran? Bisakah pemerintah menjamin distribusi soal UAN bebas dari tangan jahil? Belum lagi terbukanya peluang kolusi oknum pejabat Depdiknas dengan oknum guru-guru sekolah tertentu guna memperoleh murid. Dalam kondisi aparatur birokrat yang masih penuh KKN, sulit mengharapkan pelaksanaan UAN bebas dari penyimpangan dan kebocoran. Jauhnya jarak birokrasi pusat dan daerah (kabupaten, kota, kecamatan) dan sekolah merupakan peluang besar bagi timbulnya penyimpangan dan kebocoran. (Kompas, 29 Maret 2004).

Ketika UU No. 22/1999 dan No. 25/1999 diberlakukan dan disusul dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional tentang sistem manajemen berbasis sekolah dan pemberian kewenangan terhadap daerah (bahkan sekolah) dalam mengelola pendidikan, timbul secercah harapan akan semakin membaiknya pembangunan pendidikan. Model pembangunan pendidikan yang sangat bersifat sentralistik dan monolitik serta menafikan perbedaan, secara drastis mestinya berubah menjadi desentralistik dan pluralistik sehingga kepentingan dan kebutuhan serta potensi dan kemampuan daerah menjadi lebih terperhatikan dan terbangkitkan.

Dengan desentralisasi pendidikan yang direpresentasikan melalui model pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Masyarakat, segenap komponen sekolah menjadi semakin berperan.

Pemberian kewenangan yang besar kepada para guru melalui manajemen berbasis sekolah dan kurikulum berbasis kompetensi pun diasumsikan akan mengembalikan harga diri dan rasa percaya diri pada guru yang di masa lalu sangat terpuruk akibat sistem yang bersifat sangat instruktif. Prestasi guru juga semakin nampak karena ukuran yang dipakai jauh lebih masuk akal dalam lingkup terbatas.

Akan tetapi, melihat kebijakan Depdiknas akhir-akhir ini, harapan yang mulai timbul tampaknya akan layu sebelum berkembang. Kebijakan UAN secara nasional menunjukkan inkonsistensi Depdiknas dalam pendidikan nasional. Dari sisi siswa, evaluasi jelas akan merupakan sebuah proses yang "biasa" yang tidak memerlukan persiapan khusus yang menyita seluruh energinya karena evaluasi tersebut dijalankan oleh sekolahnya, gurunya, dan yang terpenting bahan evaluasi adalah apa yang telah diperoleh selama proses pembelajaran.

UAN yang menempatkan Pusat sebagai otoritas yang berwewenang secara penuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tindak lanjutnya melalui SPO (Standar Prosedur Operasional) yang sangat rinci dan ketat. Juga ketika UAN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional; pendorong peningkatan mutu pendidikan; bahan dalam menentukan kelulusan siswa; dan bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tujuan dan fungsi tersebut tidak berbeda jauh dengan fungsi Ebtanas dulu, tujuan dan fungsi yang tampaknya tidak pernah dievaluasi, bahkan beberapa sebetulnya tak berjalan sebagaimana mestinya.

Ditinjau dari pemberdayaan guru dan siswa, UAN sama sekali tidak berguna. Otoritas guru untuk merencanakan, menyusun, dan memberikan penilaian kepada siswa-siswanya sebagai bagian integral dari tugasnya telah direbut. Seperti di masa-masa lalu guru tetap tidak dipercaya mampu melakukan tugasnya dengan baik. UAN lalu menjadi semacam pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Mestinya UAN yang jelas-jelas bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip desentralisasi pendidikan dihapuskan saja. (Gunawan, 2004).

Masukan dari sebuah surat pembaca yang dibuat orang tua siswa berikut kiranya menjadi permenungan dalam menyambut UAN mendatang, Satu, keberhasilan pendidikan harus dilihat secara utuh, baik input, proses maupun output. Pendidikan harus dilihat sebagai proses berkelanjutan. Kalau kelulusan hanya dilihat ketika mengikuti ujian akhir, itu suatu hal yang tidak wajar.Karena sangat mungkin siswa dalam menghadapi ujian dalam keadaan sakit fisik, pengaruh psikis dari pengawas ruangan ujian atau faktor lain. Dua, kriteria sangat kontraproduktif karena diberlakukan ketika kita semua gembira menyongsong kurikulum baru (kurikulum berbasis kompetensi) di mana penilaian seorang siswa harus dilihat dari berbagai aspek, tak hanya hasil ujian tulis. Apakah ini tak bertentangan dan justru (penghalang) pendidikan kita ke depan?

Tiga, upaya penyeragaman mutu pendidikan dengan menyeragamkan kemampuan siswa sebagai indikator, ini suatu tidak logis. Sebab, keberagaman sekolah dan siswa harus diakui keberadaannya. Jadi tak bisa disamaratakan seperti kelulusan ini, yang terjadi nanti ketidakberdayaan siswa yang memang rendah akan sulit mencapai itu.

Empat, secara normatif tahun lalu lebih berkualitas karena tahun lalu salah satu persyaratan adalah mempunyai rata-rata nilai komulatif 6,00. Tahun ini tidak ada persyaratan tsb, sehingga bila ada siswa memperoleh nilai rata-rata komulatif 4,01 siswa bersangkutan lulus.

Lima, bila ada seorang siswa tak lulus karena nilai matematika 4,00 atau di bawahnya, maka siswa harus mengulang untuk ujian tahun depan semua mata pelajaran. Ini suatu hal yang tidak logis dan tak manusiawi.

Enam, masih ada waktu untuk para pejabat yang berwenang untuk melakukan langkah lebih manusiawi yang berpihak pada siswa itu sendiri. Semestinya di era otonomi ini praktik-praktik yang mengarah pada penyeragaman mutu pendidikan harus dihindarkan. Kita harus menempatkan pendidikan sebagai ajang latihan berpikir tingkat tinggi, mampu mengelola diri sendiri, dan membentuk karakteristik kepribadian yang mantap. Kondisi ini hanya mungkin jika otonomi guru dan pendidikan dibuka seluas-luasnya. Kesalahan pendidikan kita terletak pada tingkat rendah dengan drill dan hafalan, standar kelulusan palsu dan mengabaikan pembentukan karekter kepribadian.

Penyeragaman menyebabkan perbedaan individual dan keberagaman kecerdasan tak terakomodasi dan teraktualisasi. Akibatnya bakat dan talenta anak didik mubazir dan kepribadian anak didik yang autentik tidak terbentuk.

UAN tidak akan memacu bahkan memacu kualitas pendidikan nasional yang terus terpuruk. Solusinya, berikan kesempatan kepada daerah (dan sekolah) mengelola sekolah dan mengukur sendiri kondisi lokal masing-masing sesuai dengan kondisi riil di lapangan. (18)

Kesimpulan

Dari hasil pengkajian mengenai masalah- masalah di atas dapat disimpulkan bahwa:

1.            Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.            Mendorong pelayanan jasa pendidikan yang dapat meningkatkan mutu pendidikan sebagai muara dari semua kegiatan sekolah,
3.            Manajemen berbasis sekolah adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar