Pendidikan dalam rangka memanusiakan manusia atau membantu anak didik mencapai kedewasaan sangat diperlukan. Bakat atau potensi yang dimiliki anak didik perlu diasah lewat pengalaman dan pembelajaran di lingkungan tempat mereka tinggal, baik lingkungan formal sekolah, maupun lingkungan nonformal. Tugas ini menjadi tanggung jawab seorang pendidik untuk membuat anak didiknya mencapai kedewasaan dengan mengutamakan nilai- nilai agama dan moral.
Namun akhir- akhir ini, banyak kasus atau penyimpangan terjadi yang tentunya mencoreng dunia pendidikan kita, seperti kasus pencabulan yang dilakukan pendidik terhadap anak didiknya. Pelecehan seksual guru terhadap siswa sudah biasa terjadi. Potret buram pendidikan di Indonesia tersebut tentunya menggambarkan tentang sistem pendidikan di Indonesia carut marut, bahkan dapat dikatakan gagal mewujudkan tujuan pendidikan. Kalau guru sebagai output pendidikan tidak memiliki moral yang baik seperti itu, maka kita saksikan berbagai kenakalan remaja yang sangat memprihatinkan. Sebagian besar pengindap HIV- AIDS akibat pergaulan bebas adalah remaja. Demikian pula pelaku aborsi, pecandu narkoba, pelaku prostitusi dan lain-lain. Demikian pula perilaku amoral dan kriminal yang dilakukan orang dewasa maupun orang tua, bahkan pejabat yang mengurus pendidikan juga terlibat korupsi. Inilah output dari sistem pendidikan di negara ini. Benarlah kata pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Mungkin akibat dari sistem pendidikan negara kita yang sekularistik, materialistik, hedomistik, dunia pendidikan lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi serta mengesampingkan peran agama dan etika. Pendidikan sekularistik menjadikan anak didik yang permissive, atau menganut paham serba boleh. Untuk itu, perlu solusi baik pada tatanan paradigma, yaitu pendidikan harus berasaskan pada aqidah Islam yang menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, kurikulum dan tenaga pengajar.
Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun pada kenyataannya, ketiga unsur tersebut terkadang tidak selaras. Misalnya di sekolah anak diajarkan pendidikan yang baik, tapi di masyarakat, bisnis hiburan/ game center bertebaran, belum lagi pengaruh lingkungan yang belum tentu selamanya baik.
Guru sebagai seorang pendidik tak hanya jadi panutan bagi para muridnya, tapi juga harus dihormati. Sekarang jika gurunya yang melakukan tindakan asusila seperti pencabulan dan perkosaan terhadap muridnya sendiri. Seorang guru tega mencabuli muridnya. Seharusnya guru dapat memberikan contoh yang baik pada anak didiknya, bukannya malah melakukan tindakan tidak terpuji seperti itu. Kedudukan pendidik di sini jelaslah tidak layak untuk dijadikan panutan yang baik. Kasus ini jelas sangat memalukan para tenaga terdidik di seluruh Indonesia. Pelaku harus dihukum sesuai aturan yang berlaku
Dari kejadian tersebut semakin membuktikan adanya kemorosatan moral. Banyak faktor yang mempengaruhinya, mulai dari maraknya peredaran VCD porno, situs porno dan sebagainya. Belum lagi penampilan para siswi yang terkadang kurang memperhatikan etika, sehingga memancing niat kurang baik dari orang lain. Kasus pencabulan oleh oknum guru tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk lebih selektif dalam melakukan rekrutmen tenaga pendidik.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketiadaan norma atau penurunan moral baik di masyarakat maupun kalangan pendidik. Sudah saatnya kita menumbuhkan nilai moral di masyarakat dan moralitas para pendidik serta peserta didik. Adanya pergeseran nilai yang memudarkan budaya malu masyarakat bisa jadi salah satu penyebab banyaknya kasus asusila seperti pencabulan dan pemerkosaan.
Memang seharusnya seorang guru bisa menjadi panutan dengan memberi contoh yang baik terhadap anak didik. Bukan sebaliknya, melakukan perbuatan memalukan. Kasus pencabulan murid yang dilakukan oknum guru ini bisa jadi pelajaran bagi kalangan guru lainnya untuk meningkatkan pembinaan moral di kalangan tenaga terdidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar